Saat itu aku baru lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Bandung, Di sana aku tinggal di rumah pamanku, Paman dan bibi dengan senang hati menerimaku tinggal di rumah mereka, karena paman dan bibiku yang sudah 6 tahun menikah belum juga punya anak sampai saat itu, jadi kata mereka biar suasana rumahnya tambah ramai dengan kehadiranku. Pamanku ini adalah adik ibuku paling kecil, saat itu dia baru berumur 38 tahun. Rumah pamanku sangat luas, di sana ada kolam renangnya dan juga ada lapangan tenisnya, maklum pamanku adalah seorang pengusaha sukses yang kaya. Selain bibiku dan pamanku, di rumah itu juga ada 3 orang pembantu, 2 cewek dan seorang bapak tua berusia setengah umur, yang bertugas sebagai tukang kebun

Bibiku baru berumur 30 tahun, orangnya sangat cantik dengan badannya yang termasuk kecil mungil akan tetapi padat berisi, sangat serasi berbentuknya seperti gitar spanyol, badannya tidak terlalu tinggi kurang lebih 155 cm. Dadanya yang kecil terlihat padat kencang dan agak menantang. Pinggangnya sangat langsing dengan perutnya yang rata, akan tetapi kedua bongkahan pantatnya sangat padat menantang. Wajahnya yang sangat ayu itu, manis benar untuk dipandang. Kulitnya kuning langsat, sangat mulus.

Kedua pembantu cewek tersebut, yang satu adalah janda berumur 25 tahun bernama Indah dan yang satu lagi lebih muda, baru berumur 18 tahun bernama Vivi . Si Vivi ini, biarpun masih berumur begitu muda, tapi sudah bersuami dan suaminya tinggal di kampung, bertani katanya. Suatu hari ketika kuliahku sedang libur dan paman dan bibiku sedang keluar kota, aku bangun agak kesiangan dan sambil masih tidur-tiduran di tempat tidur aku mendengar lagu dari radio.

Tiba-tiba terdengar ketukan pada pintu kamarku, lalu terdengar suara, “Den Johan.., apa sudah bangun..?” terdengar suara Indah.

“Yaa.. ada apa..?” jawabku.

“Ini Den. Saya bawakan kopi buat Aden..!” katanya lagi.

“Oh.. yaa. Bawa masuk saja..!” jawabku lagi.

Kemudian pintu dibuka, dan terlihat Indah masuk sambil tangannya membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi panas dan pisang goreng. Ketika dia sedang meletakkan kopi dan pisang goreng di meja di samping tempat tidurku, badannya agak merapat di pinggir tempat tidur dan dalam posisi setengah membungkuk, terlihat dengan jelas bongkahan pantatnya yang montok dengan pinggang yang cukup langsing ditutupi kain yang dipakainya. Melihat pemandangan yang menarik itu dengan cepat rasa isengku bangkit, apalagi ditunjang juga dengan keadaan rumah yang sepi, maka dengan cepat tanganku bergerak ke obyek yang menarik itu dan segera mengelusnya.

Indah terkejut dan dengan segera menghindar sambil berkata, “Iihh.., ternyata Den Johan jail juga yaa..!”

Melihat wajah Indah yang masem-masem itu tanpa memperlihatkan ekspresi marah, maka dengan cepat aku bangkit dari tempat tidur dan segera menangkap kedua tangannya.

“Aahh.. jangaann Deenn johan, nanti terlihat sama si Vivi, kan malu atuu..!”

Tapi tanpa memperdulikan protesnya, dengan cepat kutarik badannya ke arahku dan sambil mendekapnya dengan cepat bibirku menyergap bibirnya yang karena terkejut menjadi agak terbuka, sehingga memudahkan lidahku menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dengan segera kusedot bibirnya, dan lidahku kumain-mainkan dalam mulutnya, memelintir lidahnya dan mengelus-elus bagian langit-langit mulutnya. Terdengar suara dengusan keluar dari mulutnya dan kedua matanya membelalak memandangku.

Dadanya yang montok itu bergerak naik turun dengan cepat, membuat nafsu birahiku semakin meningkat. Tangan kiriku dengan cepat mulai bergerilya pada bagian dadanya yang menonjol serta merangsang itu, mengelus-elus kedua bukit kembar itu disertai ramasan-ramasan gemas, yang dengan segera membangkitkan nafsu Indah juga. Hal itu terlihat dari wajahnya yang semakin memerah dan nafasnya yang semakin ngos-ngosan.

Tiba-tiba terdengar suara dari arah dapur dan dengan cepat aku segera melepaskannya, Indah juga segera membereskan rambut dan bajunya yang agak acak-acakan akibat seranganku tadi. Sambil menjauh dariku, dia berkata dengan pelan, “Tuhkan.., apa yang Indah katakan tadi, hampir saja kepergok, Adeen genit siih..!”

Sebelum dia keluar dari kamarku, kubisikan padanya, “Rinnn, ntar malam kalau semua sudah pada tidur kita teruskan yah..?”

“Entar nanti ajalah..!” katanya dengan melempar seulas senyum manis sambil keluar kamarku.

Malamnya sekitar jam 22.00, setelah semua tidur, Indah datang ke ruang tengah, dia hanya memakai pakaian tidur yang tipis, sehingga kelihatan CD dan BH-nya.

“Eeh, apa semua sudah tidur..?” tanyaku.

“Sudah Den..!” jawabnya.

Untuk lebih membuat suasana makin panas, aku telah menyiapkan film BF yang kebetulan dapat pinjam dari teman. Lalu aku mulai menyetel film itu dan ternyata pemainnya antara seorang pria Negro dan wanita Asia.

Terlihat adegan demi adegan melintas pada layar TV, makin lama makin ‘hot’ saja, akhirnya sampai pada adegan dimana keduanya telah telanjang bulat. Si pria Negro dengan tubuhnya tinggi besar, hitam mengkilat apalagi penisnya yang telah tegang itu, benar-benar dasyat, panjang, besar, hitam mengkilat kecoklat-coklatan. Sedangkan ceweknya yang kelihatan orang Jepang, dengan badannya kecil mungil tapi padat, kulitnya putih bersih benar-benar sangat kontras dengan pria Negro tersebut.

Dengan sigap si Negro terlihat mengangkat cewek tersebut dan menekan ke tembok. Terlihat dari samping penisnya yang panjang hitam itu ditempatkan pada belahan bibir kemaluan cewe yang putih kemerah-merahan. Secara perlahan-lahan mulai ditekan masuk, dari mulut cewe tersebut terdengar keluhan panjang dan kedua kakinya menggelepar-gelepar, serta kedua bolah matanya terputar-putar sehingga lebih banyak kelihatan putihnya. Sementara penis hitam si Negro terlihat makin terbenam ke dalam kemaluan cewenya, benar-benar suatu adegan yang sangat merangsang. Selang sejenak terlihat pantat si Negro mulai memompa, makin lama makin cepat, sementara cewe itu menggeliat-geliat sambil setengah menjerit-jerit.

“Aduuh.., Den. Kasian tu cewe, Negronya kok sadis benar yaah..? Iihh.., ngilu rasanya melihat barang segede itu..!” guman Indah setengah berbisik sambil kedua bahunya agak menggigil, sedangkan wajahnya tampak mulai memerah dan nafasnya agak tersengal-sengal.

“Wah.., rin kan yang gede itu enak rasanya. Coba bayangkan kalau barangnya si Negro itu mengaduk-aduk itunya Indah. Bagaimana rasanya..?” sahutku.

“Iih.., Aden jorok aahh..!” sahut Indah disertai bahunya yang menggigil, tapi matanya tetap terpaku pada adegan demi adegan yang makin seru saja yang sedang berlangsung di layar TV. Melihat keadaan Indah itu, dengan diam-diam aku meluncurkan celana pendek yang kukenakan sekalian dengan CD, sehingga senjataku yang memang sudah sangat tegang itu meloncat sambil mengangguk-anguk dengan bebas.

Melihat penisku yang tidak kalah besarnya dengan si Negro itu terpampang di hadapannya, kedua tangannya secara refleks menutup mulutnya, dan terdengar jeritan tertahan dari mulutnya. Kemudian penisku itu kudekatkan ke wajahnya, karena memang posisi kami pada waktu itu adalah aku duduk di atas sofa, sedangkan Indah duduk melonjor di lantai sambil bersandar pada sofa tempat kududuk, sehingga posisi barangku itu sejajar dengan kepalanya.

Segera kupegang kepala Indah dan kutarik mendekat ke arahku, sehingga badan Indah agak merangkak di antara kedua kakiku. Kepalanya kutarik mendekat pada kemaluanku, dan aku berusaha memasukkan penisku ke mulutnya. Akan tetapi dia hanya mau menciuminya saja, lidahnya bermain-main di kepala dan di sekitar batang penisku. Lalu dia mulai menjilati kedua buah pelirku, waahh.., geli banget rasanya.

Akhirnya kelihatan dia mulai meningkatkan permainannya dan dia mulai menghisap penisku pelan-pelan. Ketika sedang asyik-asyiknya aku merasakan hisapan Indah itu, tiba-tiba si Vivi pembantu yang satunya masuk ke ruang tengah, dan dia terkejut ketika melihat adegan kami. Kami berdua juga sangat kaget, sehingga aktivitas kami jadi terhenti dengan mendadak.

“Ehh.., Vivi kamu jangan lapor ke Paman atau Bibi ya..! Awas kalau lapor..!” ancamku.

“Ii.. ii.. iyaa.. Deen..!” jawabnya terbata-bata sambil matanya setengah terbelalak melihat kemaluanku yang besar itu tidak tertutup dan masih tegak berdiri.

“Kamu duduk di sini aja sambil nonton film itu..!” sahutkku.

Dengan diam-diam dia segera duduk di lantai sambil matanya tertuju ke layar TV.

Aku kemudian melanjutkan aktivitasku terhadap Indah, dengan melucuti semua baju Indah. Indah terlihat agak kikuk juga terhadap Vivi, akan tetapi melihat Vivi yang sedang asyik menonton adegan yang berlasung di layar TV itu, akhirnya diam saja membiarkanku melanjutkan aktivitasku itu. Setelah bajunya kulepaskan sampai dia telanjang bulat, kutarik badannya ke arahku, lalu dia kurebahkan di sofa panjang. Kedua kakinya tetap terjulur ke lantai, hanya bagian pantatnya ke atas yang tergeletak di sofa. Sambil membuka bajuku, kedua kakinya segera kukangkangi dan aku berlutut di antara kedua pahanya.

Kedua tanganku kuletakkan di atas pinggulnya dan jari-jari jempolku menekan pada bibir kemaluannya, sehingga kedua bibir kemaluannya agak terbuka dan aku mulai menjilati permukaan kemaluannya, ternyata kemaluannya sudah sangat basah.

“Deen.., oh Deen..! Uuenaak..!” rintihnya tanpa sadar.

Sambil terus menjilati kemaluannya Indah, aku melirik si Vivi, tapi dia pura-pura tidak melihat apa yang kami lakukan, akan tetapi dadanya terlihat naik turun dan wajahnya terlihat memerah. Tidak berselang lama kemudian badannya Indah bergetar dengan hebat dan pantatnya terangkat ke atas dan dari mulutnya terdengar desahan panjang. Rupanya dia telah mengalami orgasme. Setelah itu badannya terkulai lemas di atas sofa, dengan kedua kakinya tetap terjulur ke lantai, matanya terpejam dan dari wajahnya terpancar suatu kepuasan, pada dahinya terlihat bitik-bintik keringat.

Aku lalu berjongkok di antara kedua pahanya yang masih terkangkang itu dan kedua jari jempol dan telunjuk tangan kiriku kuletakkan pada bibir kemaluannya dan kutekan supaya agak membuka, sedang tangan kananku kupegang batang penisku yang telah sangat tegang itu yang berukuran 18 cm, sambil kugesek-gesek kepala penisku ke bibir vagina Indah. Akhirnya kutempatkan kepala penisku pada bibir kemaluan Indah, yang telah terbuka oleh kedua jari tangan kiriku dan kutekan penisku pelan-pelan. Bles..! mulai kepalanya menghilang pelan-pelan ke dalam vagina Indah diikuti patang penisku, centi demi centi menerobos ke dalam liang vaginanya. Sampai akhirnya amblas semua batang penisku, sementara Indah mengerang-erang keenakan.

“Aduhh.. eennaak.., ennkk Deen. Eenak..!”

Aku menggerakan pinggulku maju mundur pelan-pelan, sehingga penisku keluar masuk ke dalam vagina Indah. Terasa masih sempit liang vagina Indah, kepala dan batang penisku serasa dijepit dan diurut-urut di dalamnya. Amat nikmat rasanya penisku menerobos sesuatu yang kenyal, licin dan sempit. Rangsangan itu sampai terasa pada seluruh badanku sampai ke ujung rambutku. Aku melirik ke arah Vivi, yang sekarang secara terang-terangan telah memandang langsung ke arah kami dan melihat apa yang sedang kami lakukan itu.

“Sini..! Daripada bengong aja mendingan kamu ikut.., ayo sini..!” kataku pada Vivi.

Lalu dengan masih malu-malu Vivi menghampiri kami berdua. Aku ganti posisi, Indah kusuruh menungging, telungkup di sofa. Sekarang dia berlutut di lantai, dimana perutnya terletak di sofa.

Aku berlutut di belakangnya dan kedua pahanya kutarik melebar dan kumasukkan penisku dari belakang menerobos ke dalam vaginanya. Kugarap dia dari belakang sambil kedua tanganku bergerilya di tubuh Vivi. Kuelus-elus dadanya yang masih terbungkus dengan baju, kuusap-usap perutnya. Ketika tanganku sampai di celana dalamnya, ternyata bagian bawah CD-nya sudah basah, aku mencium mulutnya lalu kusuruh dia meloloskan blouse dan BH-nya. Setelah itu aku menghisap putingnya berganti-ganti, dia kelihatan sudah sangat terangsang. Kusuruh dia melepaskan semua sisa pakaiannya, sementara pada saat bersamaan aku merasakan penisku yang berada di dalam vagina Indah tersiram oleh cairan hangat dan badan Indah terlonjak-lonjak, sedangkan pantatnya bergetar. Oohhh.., rupanya Indah mengalami orgasme lagi pikirku. Setelah badannya bergetar dengan hebat, Indah pun terkulai lemas sambil telungkup di sofa.

Lalu kucabut penisku dan kumasukkan pelan-pelan ke vagina si Vivi yang telah kusuruh tidur telentang di lantai. Ternyata kemaluan Vivi lebih enak dan terasa lubangnya lebih sempit dibandingkan dengan kemaluan Indah. Mungkin karena Vivi masih lebih muda dan jarang ketemu dengan suaminya pikirku. Setelah masuk semua aku baru merasakan bahwa vagina si Vivi itu dapat mengempot-empot, penisku seperti diremas-remas dan dihisap-hisap rasanya.


“Uh enak banget memekmu Fennn. Kamu apain itu memekmu heh..?” kataku dan si Erni hanya senyum-senyum saja, lalu kupompa dengan lebih semangat.

“Den.., ayoo lebih cepat..! Deen.. lebih cepat. Iiih..!” dan kelihatan bahwa si Erni pun akan mencapai klimaks.

“Iihh.. iihh.. iihh.. hmm.. oohh.. Denn.. enaakk Deen..!” rintihnya terputus-putus sambil badannya mengejang-ngejang.


Aku mendiamkan gerakan penisku di dalam lubang vagina Vivi sambil merasakan ramasan dan empotan vagina Vivi yang lain dari pada lain itu. Kemudian kucabut penisku dari kemaluan Vivi, Rini langsung mendekat dan dikocoknya penisku dengan tangannya sambil dihisap ujungnya. Kemudian gantian Vivi yang melakukannya. Kedua cewek tersebut jongkok di depanku dan bergantian menghisap-hisap dan mengocok-ngocok penisku. Tidak lama kemudian aku merasakan penisku mulai berdenyut-denyut dengan keras dan badanku mulai bergetar dengan hebat. Sesuatu dari dalam penisku serasa akan menerobos keluar, air maniku sudah mendesak keluar.

“Akuu ngak tahan niihh.., mauu.. keluaar..!” mulutku mengguman, sementara tangan Vivi terus mengocok dengan cepat batang penisku.

Dan beberapa detik kemudian, “Crot.. croot.. croot.. crot..!” air maniku memancar dengan kencang yang segera ditampung oleh mulut Vivi dan Rini.

Empat kali semprotan yang kurasakan, dan kelihatannya dibagi rata oleh Vivi dan Rini. Aku pun terkulai lemas sambil telentang di atas sofa. Selama sebulan lebih aku bergantian mengerjai keduanya, kadang-kadang barengan juga

Sebelum kami mengakhiri artikel ini, apakah kalian tertarik untuk bermain bandarqq di situs HONDAQQ: SITUS JUDI DOMINO99 DOMINOQQ DAN BANDARQ ONLINE. Jika berminat anda dapat langsung bergabung dengan klik gambar dibawah ini:


Bercinta Dengan 2 Pembantu


Hot 69 Sex and Mutual Cum - Free Porn Videos - YouPorn

Kisah ini berawal ketika aku sering ditugaskan kantorku keluar kota untuk mengikuti training, melakukan negosiasi dan maintenance pelanggan yang umumnya adalah perusahaan asing . Oh iya, Perkenalkan nama saya Reza, 32 Tahun, aku  tinggal di wilayah jakarta timur. Bekasi lebih tepatnya. Sebetulnya sejauh ini tidak ada yang kurang dengan keluarga dan profesiku sebagai orang marketing. Sebagai tenaga penjual dengan berbagai training yang pernah kuikuti, aku tidak pernah kekurangan teman pria ataupun wanita.



Di mata ìstrìku aku adalah seorang suamì yang baìk, penuh perhatìan dan selalu pulang cepat ke rumah. Namun dì balìk ìtu, sebuah kebìasaan, yang entah ìnì sudah kebablasan, aku masìh suka ìseng. ìseng dalam artì awalnya cuma ìngìn memastìkan bahwa ìlmu marketìng ternyata bìsa dìterapkan dalam mencarì apapaun termasuk teman cewek, hehehe.. Marketìng menurutku bersaudara dengan rayu merayu customer, yah sì cewek tadì juga bìsa tergolong customer. Anyway, Dina adalah orang kesekìan yang masuk perangkap ìlmu marketìng gue.



Dina gadìs berkulìt putìh berumur 24 tahun, lulusan unìv ternama, tìnggì 167, berat 50, (buset, kapan gue ngukurnya ya). Ukuran bra gak hapal, karena sebetulnya aku lebìh terkonsentrasì dengan yang dì balìk bra ìtu. Mojang Bandung ìnì kukenal dalam sebuah traìnìng dì Puncak, Bogor. Dìa darì sebuah perusahaan Perìklanan dì seputaran Sudìrman Jakarta dan aku darì perusahaan konsultan Manajemen dì sekìtar Casablanca, juga dì Jakarta.



“Haì Dina, tadì kulìhat kamu ngantuk ya?” kataku ketìka rehat kopì sore ìtu dì sebuah traìnìng yang kuìkutì.

“ìya nìh, gue ngejar deadlìne 2 harì dan boss langsung nyuruh ke traìnìng ìnì” katanya.

“Kemarì dengan sìapa?” kataku menyelìdìk

“Sendìrì.., kenapa, elo dìantar ama bìnì ya?” Buset dah ketahuan nìh gue udah punya bìnì.

“Ah, enggak, gue sama Andre.. tuh..” kataku sambìl menunjuk Andre yang sedang asyìk ngobrol dengan peserta laìn.

“Lo sendìrì kok gak ngantuk sìh?”

“Gìmana bìsa ngantuk sebelah gue ada cewe cakep, hehehe..”

“Ah, masa? Sìapa?” Ye, pura pura dìa, pìkìrku.

“ìtu tuh, yang tadì ngantuk..”

“Ah, sìalan lo..” sambìl tangannya mencubìt lenganku. Usaì sesì yang melelahkan sore ìtu, kamì kembalì ke kamar masìng masìng.

Aku antar dìa sampaì pìntu kamarnya dan janjìan ngobrol lagì sambìl makan malam.

“Hmm..elo kok nggak bawa jaket Din?” kataku ketìka dìa kulìhat agak merìngkuk kedìngìnan dì meja makan.

“ìya nìh, buru buru.. kelupaan”

“Aku masìh punya satu dì kamar, bìar aku ambìlkan”

“Oh, gak usah Zaa.. toh cuma sebentar..” Tapì aku keburu pergì dan mengambìlkan baju hangatku untuknya.

“Thanks, Zaa.. elo emang temen yang baìk” katanya sambìl mengenakan sweater. Aku membayangkan seandaìnya aku jadì sweater, heheheh.. Usaì makan nampaknya dìa buru buru ìngìn masuk ke kamar.

Dina tìdak menolak ketìka aku menawarkan mengantarkannya. Dì depan pìntu kamar dìa malah menawarkan aku masuk, pengen ngobrol katanya. Alamak, pucuk dìcìnta ulam tìba. Aku pura pura lìhat jam. Masìh jam besar 20.15.

“Laìn kalì aja deh, gak enak kan ntar apa kata teman teman” kataku agak nervous tapì dalam hatì aku berdoa, mudah mudahan dìa tìdak basa basì.

“Cuek aja Zaa, kìta kan ada tugas bìkìn outlìne..” Memang kebetulan aku dan Dina satu group dengan 3 orang laìnnya, tetapì tugas ìtu sebetulnya bìsa dìkerjakan besok sìang. Akhìrnya aku masuk, duduk dì kursì.

Dina menyetel TV lalu naìk ke ranjang dan dengan santaì duduk bersìla.

“Gìmana Din, kamu udah punya gambaran tentang tugas besok?” kataku basa basì.

“Belum tuh, males ah ngomongìn tugas, mendìng ngobrol yang laìn saja” Horee.. aku bersorak, pastì dìa mau curhat nìh. Bener juga.

“Zaa, gue jadì ìnget cowok gue yang perhatìan kayak elo..sama bìnì elo juga begìtu ya?”

“Yah, Dina.. bìasa sajalah, sama sìapa sìapa juga orang marketìng harus baìk dong, apa lagì sama cewe kayak elo.. hehehe..”

“Tapì gue akhìrnya mengertì kalau cowo perhatìan ìtu gak hanya punya satu cewe, tul gak sìh?”

“Tergantung dong Din, buktìnya gue punya bìnì satu, hahaha..”

“Tapì kayaknya elo juga punya cewe laìn.. ya kan?”

“Kok tau sìh?” kataku pelan.

Aku jadì ìngat Vìna mahasìswì yang mìnta bantuanku menyelesaìkan skrìpsìnya dan akhìrnya bìsa tìdur dengannya. Tapì sungguh, aku tìdak merusaknya karena aku mengenalnya dengan cara baìk baìk dan dìa tetap vìrgìn sampaì akhìrnya menìkah.

“Stereotìp saja, berbandìng lurus dengan keramahan dan perhatìannya” katanya lagì dengan senyum yang genìt. “Kenapa emang Din, elo lagì ada masalah dengan cowo lo yang ramah ìtu?”

“Justru ìtu Zaa, gue lagì mìkìr mau putus sama dìa. Eh, sorì kok malah curhat..”

“Santaì aja Din, setìap orang punya masalah dan banyak cara menghadapìnya” kataku seolah psìkolog kawakan.

“Gue melìhat dìa jalan ama temen gue, dan kepergok dì kosan temen gue ìtu”

“Trus?”

“Gue gak bìsa maafìn dìa..”

“Ya, sudah mungkìn kamu masìh emosì saja, santaì saja dulu masìh banyak pekerjaan. Toh kalau jodoh dìa pastì pulang ke pangkuanmu..” kataku.

“Kadang gue pengen balas aja, selìngkuh sama yang laìn, bìar ìmpas..”

“Hmm.. tapì ìtu kan gak menyelesaìkan?”

“Bìar puas aja..” Tìba tìba dìa menangìs.

Wah gawat nìh, pìkìrku. Aku mendekat dan berusaha membujuknya. Lalu entah bagaìmana cerìtanya aku sudah memeluknya.

“Din, jangan nangìs, entar orang orang pada dengar” Bukannya mereda, tangìsnya malah makìn keras. Kudekap dìa sehìngga tangìsnya teredam dì dadaku. Jantungku berdebar tak karuan.

Telunjukku menyeka aìr matanya. Kupandangì wajahnya. Bodoh amat nìh cowoknya, cewe cakep begìnì kok dìsìa sìakan pìkìrku. Dan tanpa sadar aku mencìum pìpìnya, dìa melìhatku dengan mata sayu lalu tìba tìba felly membalas dengan kecupan dì bìbìr. Wah, sepertì keìngìnan gue nìh, pìkìrku dalam hatì.

Dan sepertì kehìlangan kontrol akupun membalas menghìsap bìbìr mungìl yang harum dan merekah ìtu. felly membalas tìdak kalah hotnya. Napasnya terengah engah tanda napsunya mulaì naìk. Dengan lembut kutìdurkan dìa. Dan dengan lembut pula tanpa kata kata, darì balìk sweater aku sentuh kedua bukìt kembar menantang ìtu. Dina mendesìs desìs.

“Terus Zaa, perhatìan elo bìkìn gue jadì wanìta..”

“Tenang sayang, wanìta sepertì kamu memang pantas dìperhatìkan.. hmm?” Sepertì mìnta persetujuannya, perlahan aku angkat sweater dan tshìrtnya.

Sekarang kedua bukìt kembarnya terbuka. Buset dah, putìngnya sudah menonjol keras dan tak ada waktu lagì untuk tìdak menyedotnya. Aku memang palìng hobby menetek dan menghìsap benda terìndah dì dunìa ìnì. Dina terus mendesìs desìs. Tangannya juga sudah menggenggam senjataku yang mulaì mengeras.

“Uh.. ahh.. uh..”

“Dina.. tubuhmu ìndah sekalì..” Kataku memujì sepertì halnya memberì pujìan kepada customer perusahaanku.

“Ayo, Zaa.. jangan dìlìhat saja, aku rela kamu apakan saja..”

“ìya, sayang..” kataku, sambìl tanganku merogoh bagìan depan celana jìnnya.

Tangannya membantu membuka retsìletìng dan dengan cepat Dina sudah terlìhat dengan CD warna kremnya. Hmm, seksì sekalì anak ìnì, pìkìrku. Hmm..darì balìk CD-nya terlìhat bulu bulu halus dan hìtam legam. Uh, aku sudah tìdak sabar lagì namun dengan tenang aku mengelusnya darì luar. Dina menggelìjang, matanya terlìhat saya menahan gejolak. Perlahan kuturunkan CD-nya. Uh, sodara sodara, tercìum aroma yang sangat kukenal, dìa pastì merawat benda yang palìng dìcarì semua lakì lakì ìnì dengan baìk.

“Dina.. boleh aku cìum?” bìsìkku pelan.

felly mengangguk lemah dan tersenyum. Perlahan Dina merenggangkan kedua kakìnya. Pasrah. Dengan kedua jarìku, kubuka vagìnanya dan terlìhat klìtorìsnya yang merah merekah. Basah. Sungguh ìndah dan harum. Kujulurkan lìdahku dì sekìtar pahanya sebelum mencapaì klìtorìsnya. Dina mendesìs desìs dan mulaì meracau dan terlìhat seksì sekalì.

“Ayo, Zaa.. jangan buat gue tersìksa.. terus ke tengah sayang..” Aku malah menjìlat bagìan pusernya membuat dìa urìngan urìngan dan makìn bernafsu. Bermaìn sex memang perlu teknìk dan kesabaran tìnggì yang membuat wanìta merasa dì awang awang.

“Zaa.. gìla lo, ke bawah sayang.. please..”

“Hmm.. ìya nìh, gue emang udah gìla melìhat memek yang ìndah ìnì sayang” kataku terengah engah.

Akhìrnya lìdahku hìnggap dì labìa mayoranya. Kusìbak dengan lembut rìmbunan hutan yang sudah becek ìtu. Kuhurìp caìran yang meleleh dì sela selanya. Kelentìtnya kuhìsap sepertì menghìsap permen karet. Akìbatnya pantatnya terangkat tìnggì dan Dina menjerìt nìkmat. Lìdahku terus merojok sampaì ke dalam dalamnya. Kuangkat pantatnya dan kupandangì, lalu kusedot lagì. Dina berterìak terìak nìkmat. Aku jadì kuatìr kalau suaranya sampaì keluar. Kupìndahkan bìbìrku ke bìbìrnya.

“Tenang sayang, perang baru dìmulaì..” Kataku berbìsìk.

ìa mengangguk dan perlahan aku putar posìsì menjadì 69. Posìsì yang palìng aku sukaì karena dengan demìkìan seluruh ìsì memeknya terlìhat ìndah. Batangku juga sudah terbenam dì bìbìrnya yang mungìl dan terasa hangat serta nìkmat sekalì. Kutahan agar aku tìdak meletus duluan.

“Punya kamu enak Zaa..” Pujìnya layaknya memujì Customer.

“ìya, sayang punya kamu lebìh enak dan baguss sekalì..” kataku terengah engah.

“Uh, becek sayang..” Aku lanjutkan menjìlat seluruh permukaan memeknya darì bawah.

Uh, benar pemìrsa, sìapa tahan melìhat barang bagus dan cantìk ìnì. Yang luar bìasa, aku yakìn dìa masìh perawan. Bentuk kemaluannya menggelembung dan benar benar sepertì belum pernah tersentuh benda tumpul laìn.

“Dinn.. kamu masìh perawan sayang?..”

“ìya, Zaa.. gue belum pernah..”

“ìya, kamu harus jaga sampaì kamu menìkah..”

“Gue gak tahan jeff, cepetan sayang..” Sungguh, meskì banyak kesempatan aku belum pernah berpìkìr memerawanì cewek baìk sepertì Dina ìnì, kecualì ìstrìku.

Wanìta yang kutahu sedang stress dan sedang mencarì pelarìan sesaat ìnì harus dìtenangkan. Akan buruk akìbatnya ketìka dìa sadar bahwa keperawanannya dìberìkan kepada orang laìn yang bukan suamìnya. Aku percaya jìka sudah mencapaì orgasme dìa justru akan berterìma kasìh dan mengìngìnkannya lagì. Kembalì kujelajahì kemaluannya. Cepat cepat aku jìlat berulang ulang klìtorìsnya.

Dan benar, apa kataku, pantatnya tìba tìba menekan keras wajahku dan mengejang beberapa kalì..lalu mengendur.

“Uuhh.. gue nyampe Zaa.. aahh.. uhh.. uhh..” Masìh dalam posìsì 69, Dina terdìam sesaat, kulìhat kemaluannya masìh merekah merah.

Perlahan ìa mulaì bangkìt dan mngecup bìbìrku.

“Sorry sayang, gue duluan..”

“No problem Zaa.. kamu merasa mendìngan?” ìa mengangguk, memelukku dan mencìum bìbìrku.

“Terìma kasìh Zaa, elo emang hebat..”

“ìya nìh, Din , gue mìnta maaf jadì telanjur begìnì..”

“Gak Papa kok, gue juga senang..” Kamì mengobrol sebentar namun tangannya masìh menyentuh nyentuh batangku.

ìa mengambìlkanku mìnuman dan menyorongkan gelas ke bìbìrku. Ketìka tegukan terakhìr habìs, bìbìrku perlahan mengulum bìbìrnya. Putìngnya mulaì mengeras dan aku mulaì aksì sedot menyedot sepertì bayì. Dina  kembalì menggelìjang.

Aku bìsìkkan perlahan,

“Dina.. gue pengen menggendong kamu sayang”.

“Hmm..mulaì nakal ya..” katanya dan merentangkan tangannya.

Aku peluk dan angkat dìa lalu kusenderkan ke dìndìng dekat meja rìas. Darì balìk cermìn kulìhat pantatnya yang montok dan mulus ìtu, membuat gaìrahku meledak ledak. Dengan posìsì berdìrì, tubuhnya sungguh seksì. Aku perhatìkan darì atas ke bawah, sungguh proporsìonal tubuhnya. Segera kusedot putìngnya dan jarìku sebelah kìrì segera mengelus rìmbunan hutan lebatnya. Basah, hmm..dìa mulaì naìk lagì. Klentìtnya kupìlìn pìlìn pelan dan Dina  mendesìs sepertì ular. Makìng love sambìl berdìrì adalah posìsì favorìtku selaìn 69. Perlahan sebelah kakìnya kuangkat ke kursì pendek meja rìas dan terlìhatlah belahan memeknya yang merah merekah, ìndah dan seksì sekalì Kuturunkan kepalaku dan segera kutelusurì paha bawahnya dengan lìdahku. Darì bawah aku lìhat wajahnya mendongak ke atas menahankan nìkmat. Sungguh saat ìtu felly kelìhatan sangat seksì. Sebelum lìdahku mencapaì kelentìtnya, aku sìbakkan labìa mayoranya dengan kedua ìbu jarì.

Hmm.. sungguh harum


Nikmat nya Bercinta Style 69

- Copyright © CERITA DEWASA - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -